Sekali Lagi tentang KTSP


Ketika kita membaca sekilas judul tulisan ini, ingatan kita langsung tertuju pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Padahal yang penulis maksudkan adalah kata-kata yang diawali dengan fonem /k/, /t/, /s/, atau /p/. Lalu, ada apa dengan fonem ktsp?

Sebagaimana diketahui, akhir-akhir ini media massa begitu gencar memopulerkan peristiwa luluhnya fonem /k/, /t/, /s/, /p/ di awal kata jika mendapat imbuhan me-, me-kan atau me-i. Tak urung, Pusat Bahasa pun merespon dengan baik. Apalagi guru bahasa Indonesia. Sungguh hal ini merupakan sasaran yang indah untuk dijadikan sebagai bahan menulis soal ulangan atau ujian. Misalnya: Kata berikut ini yang tidak baku adalah (a) mengkonsumsi, (b) memesona, (c) memengaruhi, (d) mentransfer, (e) memelopori. Bagi peserta didik atau mungkin guru bahasa Indonesia yang kurang mengikuti perkembangan, soal ini tergolong sulit. Padahal, kalau kita memahami rumus ktsp tentu jawabannya sangat mudah, yakni (a) mengkonsumsi. Fonem /k/ pada kata tersebut seharusnya luluh, menjadi mengon-sumsi.

Kata-kata yang diawali fonem /k/, /t/, /s/ atau /p/ lainya yang juga luluh karena mendapat imbuhan me-, me-kan atau me-i antara lain: mengalkulasi (kalkulasi), menelepon (telepon), menyekutukan (sekutu), dan memedomani (pedoman).

Fonem /t/ pada opsi atau pilihan jawaban (d) mentransfer memang tidak luluh karena kata tersebut diawali dengan deret konsonan /tr/. Hal semacam itu juga berlaku pada kata-kata yang lain, seperti kata kredit, traktor, starter, dan produksi. Fonem /k/, /t/, /s/ dan /p/ di awal kata-kata tersebut jika mendapat imbuhan me-, me-kan atau me-i tidak luluh, yakni mengkredit, mentraktor, menstarter, dan memproduksi.

Pertanyaannya, apakah setiap fonem /k/, /t/, /s/, atau /p/ yang diawal sebuah kata dipastikan luluh jika mendapat imbuhan me-, me-kan atau me-i. Jika hal tersebut sudah menjadi kaidah dalam bahasa Indonesia tentu setiap kata harus diperlakukan sama agar tidak membingungkan pengguna bahasa Indonesia.

Di dalam KBBI Pusat Bahasa edisi keempat (2008) ternyata masih kita jumpai kata-kata yang tidak sesuai dengan kaidah di atas. Misalnya: kata mempunyai bukan memunyai, kata mempatroli bukan mematroli, memparafrasakan bukan memarafrasakan, mempermisikan bukan memermisikan.

Tidak jelas, alasan Pusat Bahasa memilih bentuk seperti itu. Mustakim dalam buku "Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia untuk Umum" menyatakan, huruf awal /p/ pada kata serapan dari bahasa asing tidak akan luluh jika digabung dengan imbuhan me- (1992:149). Jika hal ini yang dijadikan alasan, lalu bagai-manakah dengan kata mempunyai yang ada di dalam KBBI (2008: 1118). Apakah kata punya berasal dari unsur serapan asing? Kalau bukan, mengapa tidak ditulis memunyai?

Alasan Mustakim kiranya sulit untuk tetap dipertahankan. Sebab, di dalam KBBI (2008) cukup banyak kata serapan asing yang diawali dengan fonem /k/, /t/, /s/, /p/ namun fonem tersebut menjadi luluh apabila dibubuhi imbuhan me-, me-i, atau me-kan. Sebagai contoh: mengalkulasi (calculation), menyosialisasikan (social), menyuplai (suplay), menelepon (phone), dan sebagainya.

Kembali ke pertanyaan semula. Kapan-kah fonem /k/, /t/, /s/, atau /p/ akan luluh? Haruskah secara etimologis kita harus melihat asal-usulnya? Apakah hanya fonem /p/ di awal kata serapan yang tidak luluh jika mendapat imbuhan me-, me-i, atau me-kan? Adakah pertimbangan dari sisi linguistik?

Hal lain yang perlu dicermati bagi pengguna bahasa Indonesia adalah imbuhan me- tidak meluluhkan fonem /k/, /t/, /s/, atau /p/ jika dibubuhkan di depan kata yang hanya memiliki satu suku. Misalnya: mengekop (menyundul bola dengan kepala), mengetik, mengesol, dan mengepel.

Imbuhan me- juga tidak luluh jika dibubuhkan di depan kata berimbuhan yang diawali dengan fonem /k/, /t/, /s/, dan /p/. Misalnya: mentertawakan (tertawa), mempe-ragakan (peraga), memperhatikan (perhati), dan sebagainya.

Akhirnya, marilah kita senantiasa konsisten untuk mematuhi kaidah penulisan kata dalam berbahasa Indonesia. Gunakan KBBI terkini (edisi keempat tahun 2008) sebagai salah satu acuan. Sebab perkem-bangan kosakata bahasa Indonesia memang begitu pesat. Sebagai contoh: KBBI edisi pertama (1988) hanya memuat 62 ribu lema, edisi kedua (1991) memuat 72 ribu lema, edisi ketiga (2001) memuat 78 ribu lema ditambah 2.034 peribahasa. Sedangkan KBBI edisi keempat (2008) sudah memuat 90.049 lema yang terdiri atas 41.250 lema pokok dan 48.799 sublema serta peribahasa sebanyak 2.036.